MENGENAL ULOS BATAK
Oloan Pardede
[ JENIS DAN TATA CARA PENGGUNAANNYA ]
Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, 
ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya 
disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian 
bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”. 
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Proses pembuatan ulos batak.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah 
sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan 
sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan 
nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon)
 dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan 
ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu 
diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam 
kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada 
lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. 
Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu 
diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah 
benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh 
dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga 
mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut 
“mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau 
dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang 
kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang 
direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh 
benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang
 sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan 
tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya 
diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang 
dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
Jenis Ulos
1. Ulos Jugia. 
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan 
benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering 
menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama 
dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) 
yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah 
besar.
2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos 
ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat 
pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini
 dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan 
secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan 
kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa)
 dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos
 (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang.
 Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu 
kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus 
selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). 
Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua 
puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak 
yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga 
sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) 
kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi 
Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos 
“Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa
 diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos
 Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut 
sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar 
ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok 
dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya 
dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat 
Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini
 dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang 
burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang 
sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos 
ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut 
versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh 
Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), 
dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan 
pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni 
roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. 
Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya 
menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang 
putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak 
dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari 
jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni 
ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang 
warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena
 ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini 
dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah 
sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai 
sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk 
sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai 
ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini 
dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat 
diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga 
dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu 
karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe 
bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan
 sipemakai layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos Mangiring.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan
 kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai 
ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak 
akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya 
seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian 
sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi 
kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu 
upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai 
sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila 
mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.
9. Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang 
yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia 
dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” 
(kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya 
berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari 
dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai 
sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan 
ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang 
wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang
 anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai
 sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos 
panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung 
keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer 
tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang
 tanah guna menanam benih.
11. Uos Jungkit. 
Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada 
atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini 
dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang
 dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar 
atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang 
memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, 
terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). 
Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan 
diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. 
Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos 
ini juga disebut ulos “giun hinarharan”.  Jaman dahulu para orang tua 
sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil 
tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: 
Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi 
Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos 
Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos 
Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut 
disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi 
dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat 
batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 
macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos 
“na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu.
 Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu 
dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu 
dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” 
bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.
I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir 
tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut 
anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang 
lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak 
sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja 
(mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari 
seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping 
sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).
Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah 
ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk
 ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring 
dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos 
sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang 
mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah 
dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. 
Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos 
dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos 
parompa boleh saja ulos mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan,  pihak hula-hula harus dapat 
menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk 
pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin 
laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari 
pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon 
diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada 
yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. 
Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus 
disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada 
pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut 
“ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima
 sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama 
(pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. 
Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian. 
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata
 cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak 
dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos 
biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata
 yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan 
penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk 
kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin 
laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian
 umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si 
tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini 
disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula 
yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru 
disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot, 
3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin 
perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh 
pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang 
terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan 
bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah 
yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. 
Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada 
tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin 
marangkup”.
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang 
ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status
 memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat 
diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang 
diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari 
jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang 
pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak 
“tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan 
kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya. 
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih 
untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). 
Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi 
(panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari 
yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang 
ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan 
penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak 
hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam 
perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak
 borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora.  
Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos 
dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan 
na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam 
adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan 
saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos,
 sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale 
tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan
 lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah 
mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan 
kekeluargaan dari sipenerima ulos.
 
